TARI GANDRUNG
Inspector finds restaurant kitchen infested with snakes (BWNToday)Dipublikasi pada Desember 11, 2009 oleh achmadsaugi
Seni Tari Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu generasi dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.
Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.
Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.
Tari Gandrung memiliki ciri khas , mereka menari dengan kipas dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki – laki dan di ajak untuk menari. Keberadaan Tari Gandrung sangat erat kaitannya dengan tari Seblang. Hal itu dapat dilihat dari seni gerak tari maupun unsur-unsur tari yang lain, seperti: nyanyian dan alat musik yang digunakan. Hal yang membedakan dengan Tari Seblang adalah sifatnya, Tari Seblang merupakan suatu tarian yang bersifat sakral yang selalu ditandai adanya trance atau kerasukan bagi penarinya, sedangkan Tari Gandrung bersifat sebagai hiburan atau tari pergaulan.
Tari Gandrung dalam pementasannya didukung oleh berbagai unsur, yaitu penari, pemusik, alat musik, nyanyian, gerak tari, dan arena atau panggung. Masing-masing unsur mempunyai tugas dan peranannya sendiri-sendiri. Selain itu dalam pementasan juga didukung oleh pemaju, yaitu penonton yang menari bersama penari Gandrung. Setiap penonton mempunyai kesempatan untuk menari bersama Gandrung.
Sebagai suatu hasil kebudayaan, Tari Gandrung mengalami perkembangan. Perkembangan terjadi tidak secara revolusioner. Perubahan atau perkembangan terdapat dalam busana atau pakaian. Pada mulanya busana yang dipakai sangat sederhana, di antaranya mahkota yang dipakai hanya terbuat dari dedaunan. Kondisi pakaian penari Gandrung sekarang sudah sangat berbeda, semua pakaian dibuat seindah mungkin.
Peranan Tari Gandrung sebagai tari pergaulan pada masa kini digunakan dalam berbagai kesempatan. Dalam pesta hajatan masyarakat setempat, Tari Gandrung selalu dipentaskan. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan dari pemilik hajatan. Tari Gandrung dijadikan media untuk mencari sumbangan dari para tamu.
Tari Gandrung dewasa ini mendapat perhatian yang besar dari Departemen Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah diadakan kegiatan ekstrakurikuler Tari Gandrung. Upaya ini tidak lain untuk melestarikan dan mewariskan Tari Gandrung kepada generasi muda.
Tari gandrung biasa disebut denga kesenian tari dari daerah Banyuwangi.
Kebanyakan Tarian gandrung dapat diartikan kebebanyakan oleh penari sebagai panggilan jiwa yang menari.
TATA BUSANA TARI GANDRUNG
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.
1. Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
2. Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
3. Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
4. Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.
TAHAPAN TARI GANDRUNG
Dalam tari gandrung terdapat beberapa tahapan yaitu :
a) Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
b) Maju
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.
c) Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.
Namun pada saat ini tarian gandrung telah jarang dimainkan, saat ini banyak didirikan organisasi untuk belajar tari yang lebih modern dan terarah. mungkin ini faktor dari lingkungan lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk lebih tertarik terhadap budaya asing yang di anggap lebih modern bukan budaya negeri sendiri yang sudah di lestarikan sudah sejak dahulu, Oleh sebab itu juga tarian tersebut jarang ada yang mengenalnya.
Maka dari itu mari kita semua melestarikan Budaya Indonesia ini. Jangan sampai ketika budaya kita d klaim oleh negara lain barulah kita sadar bahwa itu adalah kebudayaan Indonesia .
untuk melestarikannya Kita dapat belajar melalui dua jalur, yaitu jalur tradisional dan jalur akademis. Misalnya di jalur tradisional kita dapat mendirikan sanggar – sanggar agar dapat mengajarkan tentang tarian – tarian Indonesia kepada anak-anak sebagai penerus bangsa. di dalam jalur akademis , perlu ada penyuluhan ke sekolah-sekolah yang ada , terutama yang masih jenjang kecil (SD) karena jika kita pupuk saat dini Tarian ini tak akan lekang di makan waktu .
Semoga budaya Indonesia akan lestari sepanjang masa, amin.
TENTANG BATIK GAJAH ULING
Selain itu, adanya keterkaitan dengan sosok misteri pada sejarah Blambangan. Penaklukan Blambangan oleh Mataram, yakni pada masa Sultan Agung Hanyokro Kusumo (1613-1645 M). Dimana kekusaan Mataram inilah banyak kawula Blambangan yang dibawa ke pusat pemerintahan Mataram Islam di Plered, Kotagede.
Mereka banyak yang belajar membatik di Keraton Mataram Islam.
Sejarah batik sudah dikenal oleh tradisi keratin di Jawa sejak abad 15. Khususnnya pada pemerintahan Sultan Agung. Setelah perkembangan zaman terjadi kepentingan politik mutualisme, dengan menetapkan tradisi membatik sebagai sebuah tradisi sebuah identitas. Penguasaan terhadap budaya yang dilingkupinya. Menariknya, sosok batik khas Banyuwangi tidak terpengaruh unsur Mataram atau pun Bali.
Kurang gregetnya batik di Banyuwangi bukan berarti Banyuwangi tidak memiliki nilai estetika ragam hias arsitektural atau ragam hias ornamental. Justru menumbuh kembangkan batik Banyuwangi berarti menggali kembali segi atau nilai estetika Blambangan yang tersebar pada tinggalan Arkeologi yang ada.
***
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, adalah salah satu wilayah produsen batik, yang jarang ditengok orang. Padahal, kekhasan batik Banyuwangi dengan ciri gajah uling-nya, tak dapat dikesampingkan begitu saja.
Gajah uling memang bentuk dasar batik Banyuwangi. Pada kain batik produksi kota ini, selalu ada gambar gajah uling. Dari asal katanya, kata itu merupakan gabungan kata dari gajah, dan uling, yaitu sejenis ular yang hidup di air (semacam belut).
Ciri itu berbentuk seperti tanda tanya, yang secara filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk uling. Di samping unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar (bunga pinang atau bunga kelapa).
“Itu konsep dasar gajah uling. Kalau ada batik dengan unsur-unsur itu, dan latar belakangnya putih, berarti itu batik khas Banyuwangi,” kata Pemimpin Kelompok Pengrajin Batik “Sayu Wiwit”, Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, Soedjojo Dulhadji.
Dari arti katanya, gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti mahabesar. Sedangkan uling berarti eling, atau ingat. “Jadi, berdasar telaahan saya pribadi, gajah uling ini mengajak kita untuk selalu ingat kepada yang mahabesar, kepada Tuhan,” katanya.
Toh, sampai sekarang belum ada kesepakatan final mengenai dasar filosofi gajah uling. Sehingga, masing-masing pengusaha batik memilikikeyakinan sendiri-sendiri tentang keberadaan trade mark batik Banyuwangi ini.
Soedjojo, bisa dikelompokkan sebagai penganut aliran konvensional yang masih setia pada pakem gajah uling. Tak heran, kain batik produksiSayu Wiwit, selain menampakkan wajah gajah uling dengan kentara, juga banyak yang berlatar belakang putih. Pasalnya, ia berpendapat batik khas Banyuwangi memang seharusnya berwarna dasar putih.
Kuliner
Sego Tempong atau Nasi Tempong
Sego tempong (bahasa Indonesia: nasi tempong) adalah makanan khas Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia yang ciri khasnya ada pada sambalnya yang pedas dan segar. Diberi nama “tempong” (tempeleng) karena setelah makan sego tempong rasanya seperti ditempeleng karena pedas.
Sego Tempong atau Nasi Tempong ini adalah salah satu makanan Khas Kabupaten Banyuwangi, Nasi dengan sambal khas ini, disantap dengan lauk pada umumnya, seperti ikan laut segar goreng, tempe dan tahu goreng, bisa juga ayam goreng dan empal. Namun yang paling khusus adalah sambalnya, karena diracik secara khusus. Mulai bahan tomat (ranti-bhs Using), serta terasi yang digunakan. Bahkan saking pedasnya, orang yang habis menyatap Nasi Sambal ini seperti di-Tempong (Tampar-bhs Indonesia). Nah, dari sinilah muncul istilah “Nasi Tempong” yang membuat penyuka makanan pedas menjadi ketagihan.Nasi ini sangat nikmat di sajikan dalam keada an malam hari sambil melirik keindahan kota banyuwangi. Warung Nasi kepunya an mbak Sum yang berada di samping Selatan Roxi ini sangat ramai sekali mulai sore hingga malam hari, tak pelak jika sering pelanggannya kehabisan menu hidangan jika datangnya sudah malam.
Penjual “Sego Tempong” di Banyuwangi, selalu menggunakan “Ranti”, tomat yang bentuk kulitnya bergelombang. Sebagian orang orang juga menyebit “Melinjan”, ada juga yang menyebur “Blondotan“. Dalam bahasa latin Solanum lycopersicum, tetapi bentuknya tidak bulat penuh. Sagak gepeng, kulitnya bergelombang seperti kulitnya “waluh” (bhs.Jawa). Orang Banyuwangi menyebut ranti ini sebagai bagian dari timat sayur, sedangkan tomat pada umumnya yang kulitnya halus sebagai tomat buah. Bedanya dengan tomat pada umumnya, ranti ini tidak “lengur” (bhs. Jawa) kalau dibikin sambal tanpa dimasak. Bijinya ranti ini juga lebih banyak, dibanding tomat jenis lain. Namun apabila akan digunakan sambal, biasanya bijinya dibersihkan, hanya kulit dan dagingnya yang dipakai.
Selain menggunakan “ranti” khusus, sambal tempong juga menggunakan trasi spesial. Jika umumnya trasi berbahan udang kering, atau ebio. Namun penjual nasi tempong di Banyuwangi akan memesan secara khusus terasi berbahan baku “Teri Nasi”. Teri warna putih yang sudah dikeringkan ini, ternyata mempunyai kelejatan tersendiri.
Kemudian bahan lainnya, seperti cabe rawit, cabe merah, bawang merah dan bawang putih sama dengan sambal pada umumnya di daerah lain. Namun meski pembelinya banyak, penjual “Sego Tempong” akan meracik sambal dulu sesuai pemesan yang datang. Kecuali terasi dan bawang putih digoreng dulu, kemudian cabe rawit, cabe merah dan ranti yang sudah digilangkan bijinya, dilumatkan dalam cobek dari batu. Selain diberi garam dan gula sedikit tentunya, ada juga yang diberi jeruk. Nah, setelah halus lumatannya, jadilah sambal tempong siap saji yang segarr dan “pewedes…!!!
Sambal ini disajikan dengan nasi panas “kebul-kebul”, dengan lauk standar tahu dan tempe goreng, Namun pembelio juga bisa menambah dengan lauk lele goreng, ayam goreng, pindang goreng atau ikan lautr segar goreng. Kemudian lalapannya dalam bentuk matang semua, yaitu sayuran (Sawi Bhs.Jawa), manisah (gondes bhs. Jawa), terong welut, kubis, serta aneka sayuran lainnya yang musim saat itu. Bila ada yang tidak suka, tinggal bilang kepada penjualnya. Anda tidak mau salah satu sayur yang ada…
Nah, harganya hanya Rp. 6000 porsi, dengan satu lauk pilihan. Apabila lauk pilihan lebih dari satu, tentu hargaya juga ikut tambah.
Setelah makan pewedes, bagi yang merokok bisa menutup kenikmatan dengan sedotan rokok sesuai selera. Namun bagi yang tidak merokok, cukup pesen minuman es teh. Bisa juga air es, agar bertambah sewegerrr…..
Nah penasaran dengan “Sego Tempong”? Atau Anda ingin merasakan “Tamparan” sego tempong, datanglah ke Banyuwangi. Setiap sore hingga tengah malam, di sudut-sudut kota Banyuwangi banyak bertebaran penjual Nasi Tempong. Selamat mencoba dan menikmati…..
Santet Banyuwangi
Bicara Banyuwangi, tentu yang teringat adalah kasus ’santet” beberapa tahun silam. Memang wilayah yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini akrab dengan sebutan kota Santet. Bagi warga Banyuwangi, santet adalah hal yang tidak lagi menakutkan. Seringnya terjadi kematian seseorang yang diluar kewajaran, justsru semakin mengakrabkan mereka dengan “santet”.
Mengapa santet masih tetap eksis di Banyuwangi ?
Ini pengalaman pribadi saya ketika pertama masuk di wilayah tersebut. Saat itu musim ujian bagi siswa-siswi sekolah Lanjutan Tingkat Atas ( SLTA ). Para siswa tentu sudah mempersiapkan diri, disamping belajar, juga tidak sedikit yang ke “dukun”/ paranormal dengan membawa Pencil 2B nya , agar dapat lancar menjawab soal-soal. Bukan itu saja, suatu ketika di bulan agustus, saya akan mengikuti Lomba Tenis Meja. Oleh beberapa temanku, aku diajak ke dukun pula, buat apa, biar bisa menang, minimal biar kita tidak “diserang”. Dalam turnamen bola voli hal itu sudah biasa terjadi. Bahkan ada yang belum main, kaki sudah melempuh entah apa sebabnya. Maka dapat dipastikan ‘ pemain voli dibanyuwangi semua punya “paranormal”, atau minmal bawa“sikep”/azimat ( mantra yang ditulis kemudian disimpan didompet atau saku ).
Gambaran tersebut merupakan ‘betapa” ilmu itu masih laku dimasyrakat, artinya masyarakat masih membutuhkan, sehingga , para ‘dukun” tidak henti-hentinya mengasah ilmunya agar semakin ‘cespleng” sehingga laris dipasaran. Jika beberapa tahun lalu kasus santet merebak, sedikit mampu mengurangi aktivitas masyarakat untuk “mengakrabi” dunia mistik itu. Namun beberapa tahun kemudian , kembali seperti sediakala.
Rasanya dunia “santet” untuk 10 tahun kedepan saya kira masih eksis, mengingat masyarakat disana sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan dunia itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar